SIARAN PERS LBH SEMARANG : Penataan Ruang Jawa Tengah, Keberlanjutan ataukah Pelanggengan Krisis Ekologi?

Logo YLBHI-NEW

Semarang, 13 Februari 2018
Hingga awal Februari, tercatat telah terjadi sebanyak 275 kejadian bencana di seluruh Indonesia, hal itu sebagaimana disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dilansir dari berbagai media. Banyaknya cacatan tersebut tidak terkecuali di Jawa Tengah. Diakses dari website Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, kejadian bencana di Jawa Tengah hingga Senin (12/2), tercatat sedikitnya 45 Kejadian yang terdiri dari banjir (28 kali), longsor (15 kali) maupun banjir bandang (2 kali).

Diakhir tahun lalu, BNPB juga merilis data dimana dari 2.341 kejadian bencana di Indonesia selama 2017, Jawa Tengah paling banyak menyumbang jumlah yaitu sedikitnya 600 kejadian. Merosotnya kondisi lingkungan hidup di Jawa Tengah menjadi faktor utama yang membuat banyaknya bencana yang terjadi.

Apalagi, mayoritas bencana seperti banjir, tanah longsor ataupun kekeringan tidak sepenuhnya merupakan fenomena alam belaka, namun memiliki relasi dengan aktivitas manusia yang menyebabkan degradasi lingkungan sehingga menyebabkan bencana. Ketika musim penghujan, banjir dan tanah longsor menyerang. Namun ketika musim kemarau tiba, kekeringan pun melanda. Ini menandakan bahwa krisis ekologi yang terjadi di Jawa Tengah sudah semakin parah.

Krisis ekologi tersebut juga ditandai dari berbagai konflik lingkungan yang terjadi di Jawa Tengah, seperti konflik eksploitasi kawasan lindung karst di Rembang, Pati dan Kebumen, konflik pendirian PLTU di Batang, konflik PLTPB Baturraden di Banyumas, berbagai konflik infrastruktur jalan tol, konflik pencemaran lingkungan di Sukoharjo, dan lain sebagainya.

Catatan akhir tahun LBH Semarang mencatat, selama 2017 terdapat sedikitnya 34 kasus lingkungan di Jawa Tengah yang tersebar di 18 Kab/Kota. Jumlah itu terklasifikasi dari Sembilan permasalahan utama dengan empat permasalahan yang dominan yaitu masalah pencemaran (28%), perizinan (19%), infrastruktur (18%) dan alih fungsi kawasan (11 %) dengan total 76 persen.

Tercatat pula, bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota bertindak sebagai aktor di 26 Kasus, Perusahaan di 24 Kasus, dan Pemprov di 8 Kasus. Dari berbagai data dan fakta tersebut, menyiratkan bahwa ada yang salah dalam pelaksanaan penataan ruang, lemahnya fungsi pengawasan dan penegakkan hukum, bahkan kuatnya afirmasi pemerintah dalam perusakan lingkungan.

Di tahun 2018, dua program legislasi daerah prioritas yaitu revisi Perda rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) provinsi sedang dikebut. Dalam hal penataan ruang dan kondisi objektif yang telah disampaikan, maka sudah seharusnya pemerintah menunjukkan keseriusannya.

Di tengah kondisi krisis ekologi dan besarnya potensi konflik, sudah saatnya kita bisa secara bersama-sama mengatur penataan ruang Jawa Tengah kedepannya. Penataan ruang yang berkelanjutan sudah seharusnya dilaksanakan secara adil, terbuka, transparan, serta melibatkan semua pemangku kewenangan, khususnya masyarakat yang akan menerima secara langsung dampak pengaturan jangka panjang tersebut. Sudah saatnya pemerintah tidak lagi melaksanakan partisipasi dari sisi prosedural saja. Pelibatan secara substansi dan tidak manipulatif menjadi syarat mutlak bagi penentuan arah penataan ruang yang tidak lagi melanggengkan krisis ekologi.

Narahubung :
Ivan Wagner (081225767492)
Zainal Arifin (085727149369)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *