DEMOKRASI DALAM PERGULATAN- CATATAN AKHIR TAHUN YLBHI 2017

CATAHU

PRESS RELEASE YLBHI

No. 143/SK-P/YLBHI/XII/2017

 

CATATAN AKHIR TAHUN YLBHI 2017

DEMOKRASI DALAM PERGULATAN

 

Selama tahun 2017, YLBHI dan 15 kantor LBH di Indonesia mencatat 2797 pengaduan masyarakat mengenai kasus-kasus yang terjadi. Kasus-kasus struktural yang menarik perhatian masyarakat dan berdimensi pelanggaran HAM yang ditangani kantor-kantor LBH di antaranya: Kasus Semen Kendeng di Rembang dan Pati, kasus intoleransi dan diskriminasi terhadap penganut agama dan kepercayaan, pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat di Riau, kasus penggusuran dan reklamasi di Jakarta, pelanggaran hak-hak buruh, kekerasan terhadap anak, penyiksaan terhadap anak-anak terduga begal di Lampung, kriminalisasi petani hutan di Makassar dan Sumatera Barat, kriminalisasi warga penolak tambang Tumpang Pitu, kasus-kasus pembangunan PLTU di Celukan Bawang Bali, penggusuran dalam proyek bandara Kulonprogo, pembangunan PLTU di Cirebon, Indramayu, Batang, Jepara, dan Cilacap. Pembangunan PLTU Cirebon telah direspon warga didampingi LBH Bandung dengan menggugat Izin Lingkungan Pembangunan PLTU Cirebon ke PTUN Bandung, dan warga. Tetapi Gubernur kemudian mengeluarkan izin lingkungan yang baru.

 

Sementara itu, pada September 2017 juga terjadi penyerangan terhadap kantor YLBHI-LBH karena propaganda kelompok-kelompok tertentu yang menyebutkan YLBHI-LBH Jakarta sebagai sarang komunis.

 

Sementara itu di tingkat nasional terdapat kebijakan-kebijakan yang kemudian direspon YLBHI, di antaranya:

  • Penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Respon YLBHI: mengajukan judicial review ke MK sebagai pemohon bersama-sama jaringan masyarakat yang lain. Hasilnya: MK menolak permohonan YLBHI dengan alasan sudah banyak yang menjadi pemohon untuk JR Perppu Ormas tersebut;

  • Pembangkangan Gubernur Jawa Tengah terhadap hukum dan terbitnya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Tahan 1 untuk Pegunungan Kendeng, yang tetap diingkari PT Semen Indonesia dan Gubernur Jateng

Respon YLBHI: mendampingi masyarakat untuk menempuh upaya hukum dan non-hukum

Hasil: Pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia tetap berjalan dan belum ada tindakan apapun dari pemerintah khususnya KLHK dan Presiden;

  • Pelemahan sistematis dan brutal terhadap KPK, di antaranya: dorongan untuk merevisi UU KPK, Pansus Angket di DPR, pelemahan KPK dari dalam, pembentukan Densos Tipikor di kepolisian, upaya kriminalisasi pimpinan dan para penyidik KPK, dan serangan-serangan brutal kepada para prnyidik KPK

 

Selain itu, YLBHI juga melakukan permohonan-permohonan JR ke MK, di antaranya:

  1. Perkara No. 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 (JR Pasal-pasal Pra Penuntutan di KUHAP)

Hasil: MK mewajibkan Penyidik untuk memberitahukan dan menyerahkan surat dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor (SPDP) paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkan SPDP.

  1. JP Pasal-pasal Kesusilaan di KUHP (Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Hasil: MK menegaskan tidak boleh memidanakan tindakan yang seharusnya tidak dipidana

  1. Menguji hak angket DPT terhadap KPK

Hasil: Permohonan dicabut karena ditemukan dugaan pelanggaran Kode Etik oleh Ketua MK;

  1. Menguji (Kembali) UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Hasil: Persidangan sedang berlangsung

  1. LBH Jakarta, LBH Papua, dan jaringan masyarakat sipil menguji pasal makar di KUHP terkait upaya membendung pembungkaman kemerdekaan berpendapat;
  2. LBH Jakarta melakukan Judicial Review UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya

Hasil: Permohonan Ditolak

 

Sedangkan kebijakan-kebijakan lain tahun 2017 adalah Pembangunan Infrastruktur. Pembangunan jalan tol, reklamasi 17 pulau di Jakarta, pembangunan geothermal, pembangunan PLTU Batubara di Cirebon, Indramayu, Bendungan Jatigede, Bandara NYIA di Kulonprogo, PLTU Celukan Bawang, Pembangunan PLTU Batubara di Jeneponto, dan Pembangunan PLTU Batang, PLTU Jepara, PLTU Cilacap. Dan Jalan Tol Semarang-Batang.

Pemerintah membutuhkan investasi yang sangat besar dalam membangun infrastruktur. Kebutuhan pendanaan proyek infrastruktur hingga tahun 2019 sebesar 4000 Trilyun, yang ditopang oleh dana pemerintah dan swasta. Dana pihak swasta dan BUMN yaitu sebesar 2.667 Trilyun sedangkan dana Pemerintah sebesar 1.333 Trilyun. Jadi lebih banyak swasta. Di Tahun 2015 sebesar 290,3 Trilyun dan Tahun 2017 sebesar 387,3 Trilyun, yang artinya terjadi kenaikan. Pembangunan-pembangunan proyek infrastruktur mengakibatkan hilangnya lahan-lahan, penggusuran tempat tinggal masyarakat, dan kriminalisasi. Akibatnya, konflik agraria kian marak. Jumlah konflik agraria yang ditangani LBH Indonesia melibatkan lahan seluas 7.475.426,966 hektar. Konflik agraria di perkotaan berjumlah terbanyak yaitu 45%, perkebunan 18%, kehutanan 12%, pertambangan 4%, infrastruktur 3%, dan pesisir 3%. Sedangkan jumlah korban adalah 95.567 KK dan 249.855 orang. Penyebab konflik adalah: tanah dimasukkan dalam kawasan hutan (63%), pengambilalihan lahan untuk perkebunan (74%), pengambil alihan lahan untuk infrastruktur (27%), pengambilalihan lahan untuk tambang (15%), reklamasi (12%), dan pengambilalihan lahan untuk kepentingan lain (51%).

 

Kebijakan lain adalah militerisasi. Selama tahun 2017, pemerintah melibatkan TNI dalam beberapa kegiatan. Hal ini ditunjukkan dengan MOU-MOU yang dibuat. Misalnya:

  • MOU BPN-Kemenhan untuk penyertifikatan aset tanah yang dikuasai TNI;
  • MOU Kemendes-TNI untuk mengawal dana desa dan kegiatan-kegiatan desa lainnya;
  • MOU Mendikbud-TNI untuk penguatan karakter;
  • Kerjasama Kementan-TNI; dan
  • Pelibatan TNI/POLRI dalam Pengamanan Objek Vital Nasional

 

Paparan di atas apabila diamati adalah sebuah gejala yang memiliki akar:

 

  1. Pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang mengambil hak rakyat dan memiskinkan

Pembangunan yang dari asal katanya dapat kita mengerti memiliki arti positif ternyata menimbulkan hal buruk. Bukannya dibangunkan dari tidur panjang kemiskinan, penderitaan sebaliknya proyek-proyek pembangunan ini menghilangkan yang sudah ada, merampas yang sudah ditanam dan memundurkan kemajuan menjadi kemiskinan di segala bidang.

Hal ini terjadi karena pembangunan yang direncanakan tidak mengambil arah yang diharapkan rakyat. Rakyat yang terdampak tidak ditanya apa kemauannya dan apa rencananya dengan kata lain hak rakyat atas pembangunan tidak diakui.

Pembangunan juga dititikberatkan pada pembangunan fisik yaitu infrastruktur dan ekonomi. Sungguh jauh dari “mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor ekonomi domestik melalui akomodasi kehendak rakyat atas sektor ekonomi yang mereka telah dan mau geluti” dan juga perlindungan terhadap tanah, air, udara yang menjadi janji Jokowi-JK dalam Nawacita.  

  1. Keterlibatan TNI dalam pembangunan

19 tahun setelah TAP MPR X/1998 dan 17 tahun setelah pemisahan TNI/Polri militer kembali dilibatkan dalam masalah sosial politik yang bukan menjadi tugasnya. Hal ini bisa bermakna banyak. Mulai dari penurunan fungsi militer, yang tadinya dibutuhkan karena ketrampilan khususnya, hingga ketidakpatuhan kepada hukum. Pastinya yang paling mengkuatirkan adalah seperti yang ditulis dalam bagian pertimbangan TAP MPR VI/2000 berikut ini

 

“bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan tejadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat”.

 

  1. Kebebasan berserikat, berkumpul, berpendapat dihambat

Kebebasan selalu ditakuti oleh pemerintahan yang otoriter. Tentu saja kebebasan dalam tulisan ini bermakna kebebasan yang bersumber dari HAM dalam arti dilakukan secara damai serta tidak melanggar ketentuan HAM seperti siar kebencian. Pemerintah mengejutkan publik saat mengeluarkan Perppu Ormas yang membatasi kebebasan berserikat, meskipun lebih mengejutkan lagi melihat perppu tersebut diloloskan oleh DPR mengingat Presiden tidak berasal dari parpol dan tidak memiliki dukungan mayoritas dari partai politik.

Kasus-kasus pada bab sebelumnya juga menunjukkan pembatasan hak berkumpul dan berpendapat melalui pelarangan diskusi, pameran juga kriminalisasi pembela HAM yang sedang melakukan advokasi baik kasusnya sendiri maupun kasus yang didampinginya. 

 

  1. Hukum yang digunakan penguasa untuk melawan rakyat

Hukum memang produk politik dan karena itu tidak heran hukum (senantiasa) digunakan oleh mereka yang berkuasa untuk melawan rakyat; merampas sumber penghidupan rakyat dan lain-lain. Terjadi tumpang tindih aturan hukum baik yang setara maupun antar peraturan daerah dengan undang-undang.

 

  1. Peradilan sebagai lembaga pemulihan tidak bekerja dan justru mendukung perampasan hak rakyat

Peradilan sesungguhnya adalah mekanisme pengujian suatu tindakan dalam hal ini termasuk tindakan penguasa. Oleh karena itu peradilan bukanlah hanya sekedar mekanisme melainkan sarana untuk memberikan pemulihan. Sayangnya kasus-kasus yang ada menunjukkan peradilan belum mampu menjalankan fungsi mulia ini. Sebaliknya peradilan menjadi alat impunitas, penghapus kesalahan dan perampas hak rakyat.

 

  1. Pembangkangan hukum

Saat peradilan bekerja dan hukum memihak kepada rakyat, senjata pamungkas pembangkangan kepada hukum dan peradilan bekerja. Kasus-kasus yang ada menunjukkan kemenangan rakyat kerap tinggal di atas kertas. UU dan mekanisme yang bertujuan mengikat pelayan publik bertindak sesuai UU ternyata juga tidak mampu memutus rantai pembangkangan ini.

 

  1. Korupsi sebagai Sumber Pelanggaran HAM

Korupsi dan mesin penggeraknya ternyata masih bercokol kuat. Hal ini ditunjukkan oleh perlawanan balik terhadap KPK oleh berbagai institusi dengan berbagai bentuknya. Padahal korupsi tidak saja pelanggaran HAM itu sendiri tetapi ia menjadi sumber pelanggaran HAM. Peradilan yang korup akan membuat mekanisme pemulihan tidak bekerja. Pejabat yang korup akan menyebabkan ia tidak mematuhi hukum dan putusan peradilan. DPR yang korup juga akan membuat hukum yang menguntungkan segelintir orang bukan rakyat.

 

  1. Pemaksaan Keseragamaan

Meskipun Bhineka Tunggal Ika tidak pernah berpindah dari lambang negara tetapi pelaksanaannya sungguh berbeda. Ancaman tidak lagi datang hanya dari aparat pemerintah tetapi juga ormas, kelompok dan individu masyarakat. Kasus-kasus menunjukkan kekerasan baik fisik maupun verbal bahkan perburuan manusia atas manusia lain. Tentu saja tetap ada dimensi struktural dalam hal ini yaitu peninggalan Orde Baru yang melakukan pemberangusan kebebasan termasuk menganut keyakinan tertentu. Pengalaman ini tentu menimbulkan ketidakpercayaan jika keragamaan bisa berdampingan dan hak tidak hanya bisa didapatkan dengan menguasai. Tentu saja konservatisme dan ketidakadilan juga menjadi akar persoalan ini.

 

  1. Delegitimasi HAM

Beriringan dengan pelanggaran hak-hak rakyat, pengabaian agenda reformasi terkait penuntasan pelanggaran HAM masa Orde Baru dan pemaksaan keseragamaan, terjadi delegitimasi HAM. Hal ini diawali dengan politisasi HAM melalui berbagai pernyataan tanpa dasar dan bukti seperti HAM berasal dari Barat dan lain-lain. Padahal amandemen konstitusi yang tidak terlepas dari agenda reformasi salah satunya adalah penambahan HAM ke dalam UUD 1945. Demikian pula TAP MPR X/1998 yang merupakan dokumen tertinggi kedua setelah konstitusi menyebutkan tujuan reformasi pembangunan poin 3 adalah  “menegakkan hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, Hak Asasi Manusia menuju terciptanya ketertiban umum dan perbaikan sikap mental”. Oleh karena itu menolak HAM sesungguhnya menolak konstitusi, TAP MPR ini juga UU.

 

Terakhir sekali kami ingin mengemukakan refleksi atas kondisi hukum dan HAM di Indonesia dengan membandingkan apa yang terjadi baik pada masa reformasi dan sebelumnya.

Pertama, pola yang berulang. Terlihat kasus-kasus yang terjadi pada masa ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada masa lalu. Baik mengenai jenis, pola pelanggaran maupun penyelesaiannya.

Kedua, reformasi bergerak mundur. Tonggak yang dibuat pada tahun 1998 hingga awal 2000 ternyata bukan hanya tidak dijalankan tetapi ditinggalkan. Orang-orang termasuk pejabat negara tidak berkomitmen terhadap agenda reformasi bahkan mempraktekkan hal-hal yang sudah dinyatakan sebagai hal yang buruk dalam dokumen-dokumen reformasi.

Ketiga, demokrasi digerogoti. Reformasi adalah tonggak ditinggalkannya rezim otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Oleh karena itu mempraktekkan hal-hal pada masa Orde Baru sama dengan melakukan penggerogotan terhadap demokrasi.

 

Hormat Kami,

Asfinawati – Ketua Umum

 

PRESS RELEASE YLBHI_CATAHU 2017

 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *