Darurat Demokrasi! Solidaritas Perempuan : Mengecam pembungkaman dan tindakan Represif Aparat atas Pelarangan Seminar Pengungkapan Kebenaran Sejarah Peristiwa 1965/1966

Penyataan Sikap
Solidaritas Perempuan : Mengecam pembungkaman dan tindakan Represif Aparat atas Pelarangan Seminar
Pengungkapan Kebenaran
*Sejarah Peristiwa 1965/1966 *
di Kantor YLBHI – LBH Jakarta
#DaruratDemokrasi

Pembungkaman Demokrasi kembali berulang. Jakarta 16 September 2017, tindakan represif kembali dilakukan oleh Aparat Kepolisian menyusul pelarangan terhadap diskusi pengungkapan kebenaran sejarah 1965 di kantor YLBHI – LBH Jakarta. Tidak cukup mendiamkan tindakan kelompok Ormas yang hendak membubarkan diskusi, kali ini aparat kepolisian justru bertindak aktif melarang dan membubarkan diskusi dengan melakukan ancaman, penyitaan spanduk, hingga penggeledahan ilegal. Peristiwa ini tentunya adalah Pertanda buruk bagi ancaman demokrasi kita di 19 tahun reformasi.

Berdasarkan catatan Solidaritas Perempuan, tindakan represif kepolisian di rezim Jokowi-JK, terus meningkat. Selama tahun 2017 saja, pembatasan dan ancaman demokrasi telah terjadi dalam berbagai bentuk. Sebut saja pelarangan aksi buruh migran di depan Kedutaan Arab Saudi, maupun aksi peringatan Hari Perempuan Internasional yang seharusnya dilakukan di istana negara. Kepolisian tidak hanya melarang warga negara yang hendak menjalankan haknya untuk menyuarakan pendapatnya di tempat umum, yaitu Kedutaan Arab Saudi dan Istana Negara RI, tetapi juga melakukan tindakan represif secara verbal hingga fisik. Pembatasan ruang demokrasi juga terjadi ketika Hari Buruh Internasional yang biasanya diperingati dengan aksi di depan istana, pada tahun 2017 hanya berhenti di tengah jalan karena dihalangi kawat berduri dan barisan polisi. Kejadian represi kembali terjadi dalam bentuk penghancuran tenda petani-petani Kendeng yang menyuarakan situasinya di hadapan istana

Tak hanya itu, di sepanjang Januari-Juni 2017 ini saja, kriminalisasi dan kekerasan terjadi di berbagai wilayah, di mana kasus-kasus tersebut telah meningkatkan beban dan dampak berlapis yang dialami perempuan dalam konflik agraria. Bahkan, terdapat perempuan petani yang dikriminalisasi, ataupun mendapatkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Situasi hari ini berpotensi semakin meningkatkan kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap perempuan di berbagai konteks. Perempuan akan semakin kehilangan ruang untuk berpikir dan bersikap kritis dalam memperoleh hak-haknya, dan kelompok perempuan berada pada situasi terancam oleh penindasan dan ketidakadilan. Perjuangan perempuan korban konflik agraria, perempuan nelayan/pesisir, perempuan buruh migran dan perempuan marginal lainnya, yang mengalami penindasan dan ketidakadilan akibat kebijakan, proyek maupun program yang dilahirkan pemerintah Indonesia akan semakin terbungkam karena ancaman tuduhan melanggar ketertiban umum atau melawan ideologi negara.
Tak hanya itu kriminalisasi terhadap nelayan yang teluk Jakarta juga terjadi penangkapan dan penahanan nelayan Pulau Pari bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan yang berlaku, yaitu: 1) UU Nomor 27 Tahun 2007 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan 2) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tindakan represif yang dilakukan negara jelas merupakan pelanggaran Konstitusi UUD 1945. Untuk itu, Solidaritas Perempuan menuntut :
1. Presiden RI untuk segera mengambil tindakan tegas atas kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan Kepolisian RI dalam pembatasan ruang demokrasi rakyat.
2. Presiden RI bersama jajaran pemerintah untuk menghentikan segala bentuk tindakan represif, baik yang dilakukan oleh Kepolisian maupun pihak lainnya, terhadap rakyat yang memperjuangkan hak dan keadilan, baik perempuan maupun laki-laki.
3. Solidaritas Perempuan meminta negara untuk segera mengusut dan menyelesaikan berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM masa lalu, secara tuntas sebagai pembelajaran untuk penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Indonesia, Penyelesaian kasus-kasus harus disertai dengan pemulihan bagi korban, dengan keterlibatan perempuan dan mempertimbangkan situasi khusus perempuan di dalam prosesnya.

 

Jakarta, 17 September 2017
Hormat Kami
Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *