Beberapa catatan terkait Kebijakan Remisi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Ketentuan Normatif

  • Pasal 28 huruf A s/d J UUD Tahun 1945;
  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM);
  • Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP);
  • KUHP, KUHAP & PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHP;
  • UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan);
  • PP 31/1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan PP 32/1999 yang diubah dengan PP 28/2006 dan PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP);

 

Dasar Filosofis

  • Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat adalah Hak Narapidana yang berlandaskan pada filosofi pemidanaan modern, yakni Integrated Criminal Justice System dan Restorative Justice;

 

  • Terkait dengan Pemidanaan, maka sudah diatur dalam Pasal 10 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP), yakni:

Pasal 10

  1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.
  2. Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana;
  3. Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
  4. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana.
  5. Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka.

 

  • Pemidanaan konsep dasarnya adalah “Deprivation of Liberty” atau kebebasan yang dicabut untuk sementara, yang tidak menghilangkan hak-hak dasarnya yang tetap dipenuhi oleh Lapas;

 

Problem Empiris

 

  1. Logical Fallacy alias Sesat Pikir Pemerintah

 

  • Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat adalah Hak Narapidana, namun bukan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diatur pada Pasal 28 huruf A-J di UUD Tahun 1945, yang berjumlah sekitar 40 hak dasar.

HAM adalah hak yang melekat sejak lahir tanpa perlu ada syarat untuk mendapatkannya, sedangkan Hak Narapidana lahir dengan syarat bahwa seketika seseorang dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang BHT.

 

  • Adanya pengaturan secara khusus terkait syarat dan tata cara pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana dengan kejahatan luar biasa (Korupsi, Narkotika, Terorisme) dianggap sebagai bentuk pembedaan yang diskriminatif.

 

Pasal 1 angka (3) UU HAM menjelaskan bahwa, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.”

 

KUHP yang diturunkan lewat berbagai UU organik mengatur adanya penggolongan atas kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yakni Korupsi, Narkotika, Terorisme yang diganjar Hukuman Mati yang selalu didukung dan digaungkan oleh Pemerintah;

 

Pasal 12 UU Pemasyarakatan menyatakan adanya penggolongan:

(1)    Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar:

a. umur;

b. jenis kelamin;

c. lama pidana yang dijatuhkan;

d. jenis kejahatan; dan

e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

 

Pengaturan secara khusus terkait syarat dan tata cara pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana dengan kejahatan luar biasa (Korupsi, Narkotika, Terorisme) tidak diskriminatif. Jika semua narapidana sama pola dan metode pembinaannya, lalu hak remisi narapidana yang divonis mati bagaimana?

 

  • Pengaturan secara khusus terkait syarat dan tata cara pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana dengan kejahatan luar biasa (Korupsi, Narkotika, Terorisme) dianggap sebagai double punishment.

 

Jika seorang narapidana yang dihukum 5 tahun penjara dan tidak mendapatkan Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat apakah dia menjalani pidana penjara lebih dari 5 tahun? Atau bahkan jadi 10 tahun. Jelas tidak.

 

Jika seorang narapidana tidak mendapatkan pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat sama sekali karena tidak memenuhi syarat dan tata cara yang diatur secara khusus, artinya hukuman yang dijatuhkan pengadilan harus dijalani secara penuh, bukan dihukum dua kali.

 

Mengingat, Pembinaan narapidana bukan hanya terkait pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat, melainkan juga pembinaan intelektualitas, religiusitas, kesehatan jasmani rohani, latihan kerja, dan produksi sesuai PP 31/1999.

 

  • Pengaturan secara khusus terkait syarat dan tata cara pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana dengan kejahatan luar biasa (Korupsi, Narkotika, Terorisme) dianggap sebagai “dalih” untuk menghapuskan Hak narapidana.

Pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat tetap ada dan mungkin diberikan dengan syarat dan tata cara yang “khusus” untuk kejahatan luar biasa, jadi bukan dihapuskan.

 

  • Pengaturan secara khusus terkait syarat dan tata cara pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana dengan kejahatan luar biasa (Korupsi, Narkotika, Terorisme) dianggap sebagai “biang kerok” atas kondisi Over capacity dan bahkan kerusuhan yang menyebabkan kematian di Lapas.

 

Seolah-olah hanya ada 1 ketentuan normatif terkait pidana dan pemidanaan, yakni PP 32/1999 yang diubah dengan PP 28/2006 dan PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), padahal masih ada KUHP dan berbagai UU Organik yang memiliki “jiwa” lebih kejam dari pada Penjajah/Kolonial karena melakukan over-kriminalisasi terhadap banyak tindak pidana yang tidak patut dikriminalisasi.

 

Belum lagi sikap tindak dan perspektif aparat penegak hukum yang juga seperti Penjajah/Kolonial, tujuannya selalu “memenjarakan” Tersangka/Terdakwa baik di Rutan atau di Lapas. Bukannya memegang teguh filosofi Restorative Justice System;

 

  1. Cuci Dosa atas Kesalahan Teknis Kebijakan Pemerintah

 

  • Pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat harus didasarkan pada hasil atau output Pembinaan dan Pembimbingan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan di bawah Kementerian Hukum dan HAM (Pemerintah) yakni intelektualitas, religiusitas, kesehatan jasmani rohani, latihan kerja, dan produksi.

 

Bukan diletakkan pada “kehendak” Pemerintah yang seringkali tidak berbasiskan data hasil evaluasi Pembinaan dan Pembimbingan tapi justru pada kepentingan politik. Dan yang paling sering dikemukakan adalah Politik Anggaran, di mana sering terjadi over capacity di Lapas sehingga anggaran membengkak dan tidak mampu menanggung biaya Pembinaan dan Pembimbingan narapidana;

 

  • Pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat seringkali dilakukan dengan perspektif sebagai “hadiah” yang dikait-kaitkan dengan event atau peringatan yang berbasis kalender, Hari Besar Keagamaan, Hari Raya Nasional, bahkan Hari Libur dan Hari Ulang Tahun).

 

Bahkan ditemukan seorang narapidana dengan kejahatan luar biasa mendapatkan remisi berkali-kali dalam setahun sehingga masa pemidanaan berkurang sangat drastis karena penerapan “hadiah” berbasis kalender ini;

 

  • Adanya monopoli Pemerintah, karena tidak pernah ada mekanisme kontrol atau review yang evaluatif dari pihak luar Lembaga Pemasyarakatan/Kementerian Hukum dan HAM/Pemerintah, misalnya masyarakat sebagai konstituen dari “keadilan” yang dicita-citakan, atas penerapan kebijakan Pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat. Di sinilah “kepentingan lain” hadir dan tidak terbendung seperti Gratifikasi;

 

  1. Ada Kepentingan Lain di luar Hukum dan Keadilan yang Menunggangi

 

  • Di tengah “pertempuran abadi” dalam reformasi sistem perundang-undangan pidana di Indonesia (KUHP dan KUHAP) serta peraturan turunannya, Pemerintah justru sibuk mengurusi Pemberian Penyesuaian Pidana, Remisi, Hak Asimilasi, dan Pembebasan Bersyarat yang diatur secara khusus untuk kejahatan luar biasa khususnya Korupsi, kenapa?

 

Beberapa catatan terkait Kebijakan Remisi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Julius Ibrani (YLBHI)

 

 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *