Anak Korban Perkosaan Dikategorikan Pelaku Aborsi, Vonis MA Disesalkan

 Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menjadikan anak korban perkosaan sebagai pelaku aborsi disayangkan. Sebab anak yang hamil karena bujuk rayu lawan jenisnya telah mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan.

Berdasarkan putusan kasasi nomor 345 K/Pid.Sus/2013, korban awalnya berkenalan dengan Teddy sejak 2011. Dari perkenalan itu, Teddy melakukan bujuk rayu untuk bisa bersetubuh dengan korban. Niat jahat itu pun terlaksana dan korban yang masih berusia 17 tahun hamil.

Pada Februari 2011, Teddy yang telah dewasa meminta korban untuk meneruskan kehamilannya tapi ditolak. Alasannya, korban ingin tetap sekolah sehingga bayi yang di kandungan harus digugurkan. Atas permintaan itu, Teddy pun menyanggupi dan dilakukan proses pengguguran dengan memberikan obat ke dalam rahim korban.

Hasilnya sang bayi yang telah berusia 7 bulanan pun lahir dalam kondisi meninggal dunia. Setelah itu, Teddy menguburkan bayi yang dibungkus keresek ke liang tanah. Kejahatan itu terbongkar saat satpam kompleks curiga dengan bekas kuburan itu.

Sempat dihukum 7 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya, hukuman Teddy dikorting menjadi 4 tahun penjara oleh MA. Ketiga hakim agung memberikan alasan korting tersebut yaitu terjadinya pengguguran terhadap anak yang menyebabkan kematian tidak semata-mata dilakukan atas kehendak terdakwa. Melainkan perbuatan itu dilakukan atas kehendak bersama dengan saksi korban karena masih ingin melanjutkan sekolah.

Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), pertimbangan tersebut tidak tepat.

“Nggak bisa ditimpakan ke saksi korban. Sebab dia masih anak-anak yang harus dikualifikasikan masih labil,” kata Ketua YLBHI, Alvon Kurnia Palma saat berbincang dengan detikcom, Kamis (27/8/2014).

Menurut Alvon, pertimbangan MA yang menyebutkan ‘perbuatan itu dilakukan atas kehendak bersama’ sangat tidak berkeadilan. Pada beberapa kejadian, aparat hukum lebih mengedepankan adanya dugaan tindak pidana daripada psikologi si anak.

“Aku melihat bahwa hakim tidak mempertimbangkan anak yang telah menjadi korban,” ujar Alvon.

Ketiga hakim agung tersebut yaitu Dr Imron Anwari, Dr Salman Luthan dan Dr Andi Samsan Nganro. Menurut Alvon, dalam hal anak-anak yang menjadi korban maka perspektif yang harus dibangun adalah bagaimana membangun kembali psikologi si anak agar dapat melanjutkan aktivitasnya ke depan.

“Dalam kasus anak, hakim harus menerapkan prinsip restorativ justice yang lebih memperhatikan anak pelaku maupun anak sebagai korban,” pungkas Alvon.

 

Sumber : detik.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *