Pemberantasan Korupsi oleh Kejaksaan Dinilai Setengah Hati

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendesak Kejaksaan Agung untuk segera melakukan proses eksekusi terhadap putusan gugatan perdata Yayasan Supersemar milik Mantan Presiden Soeharto yang diwajibkan membayar denda sebesar Rp 3,17 triliun. Kejaksaan Agung masih mempunya banyak pekerjaan rumah dalam mempercepat eksekusi terpidana kasus korupsi. Berdasarkan pemantauan Koalisi, sedikitnya terdapat 36 perkara korupsi dengan 40 terpidana yang belum dieksekusi oleh kejaksaan. Hal itu menunjukkan Kejaksaan Agung masih setengah hati memberantasan korupsi.

Koalisi terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat pegiat antikorupsi seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Legal Roundtable (ILR), dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Mewakili YLBHI, Bahrain menjelaskan, dalam gugatan perdata tahun 2010, Mahkamah Agung telah memutuskan Suharto sebagai tergugat I dan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai tergugat II bersalah karena telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sehingga harus membayar denda sebesar Rp 3,17 triliun. Eksekusinya tidak dapat dilakukan, justru kejaksaan mengajukan Peninjauan Kembali karena alasan salah ketik dalam putusan MA. Dalam putusan tersebut seharusnya Rp 3,17 triliun tertulis Rp 3,17 juta. “Peninjauan Kembali seharusnya tidak menghalangi eksekusi terpidana kasus korupsi,” katanya melalui siaran pers, Minggu (20/10/13).

Justru seharusnya, kata dia, kejaksaan segera mengajukan gugatan perdata terhadap enam yayasan milik Soeharto lainnya. Antara lain Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Dharmais, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Pihak Kejaksaan jangan melupakan Soeharto.

“Eksekusi terhadap Yayasan Supersemar adalah tolok ukur reformasi, sebagai wujud dari berakhirnya rezim Soeharto, sehingga harus dipercepat pelaksanaannya, karena Putusan MA sudah keluar pada 2010. Kejaksaan perlu menggugat pula 6 yayasan lain yang dulu didirikan Soeharto, karena berdasarkan catatan dari Stolen Asset Recovery (STAR) ada Rp 315 Triliun dana yang dikorupsi Soeharto sepanjang masa pemerintahannya,” tutur Erwin Natosmal mewakili ILR.

Erwin mengatakan, kejaksaan harus mempercepat pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana kasus korupsi. Termasuk memburu dan membawa pulang koruptor yang melarikan diri ke luar negeri.

Pada 13 Mei 2013 lalu, Koalisi telah melakukan audiensi dengan Kejaksaan Agung untuk mendorong optimalisasi pemberantasan korupsi. Dalam Audiensi tersebut Koalisi telah menyerahkan daftar terpidana perkara korupsi yang belum dieksekusi kepada Kejaksaan Agung. Daftar itu memuat sedikitnya terdapat 44 perkara korupsi dengan 57 terpidana yang belum dieksekusi oleh kejaksaan. Perkara-perkara ini telah diputus sejak tahun 2004 hingga 2012, namun ekesekusi terhadap terpidana belum berhasil dilakukan.

Meskipun setelah penyerahan daftar tersebut sudah ada eksekusi yang dilakukan, namun jumlahnya belum signifikan. Menurut data koalisi, Kejaksaan masih belum melaksanakan eksekusi terhadap 36 perkara dengan 40 terpidana. Beberapa nama yang belum dieksekusi antara lain Sumita Tobing terpidana korupsi pengadaan peralatan TVRI, Samadikun Hartono terpidana korupsi BLBI Bank Modern, Adelin Lis terpidana korupsi dana reboisasi dan illegal logging di Kawasan Mandailing Natal, serta Djoko S Tjandra terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali. Alasan belum dilaksanakannya eksekusi terhadap para terpidana antara lain karena, terpidana buron dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Jumlah buron saat ini sebanyak 25 perkara.

Erwin mengatakan, lambannya Kejaksaan melakukan eksekusi akan memberi peluang bagi terpidana untuk melarikan diri. Contohnya bebasnya Sudjiono Timan setelah PK nya dikabulkan menjadi pukulan telak dalam upaya pemberantasan korupsi.

Tama S. Langkun mewakili ICW mengatakan, selain mengeksekusi hukuman badan, penggantian uang korupsi belum dilakukan maksimal.

Terbukti dariLaporanHasil verifikasi BPKP ke Kejati seluruh Indonesia per 31 Agustus 2007 yang menyebutkan, jumlah uang pengganti yang harus segera dieksekusi adalah sebesar Rp 8,5 triliun dan USD 189,5 juta. Sedangkan yang baru diselesaikan adalah Rp 2,6 triliun. Sedangkan yang belum tertagih adalah sebesar Rp 5,8 triliun.

“Piutang Kejaksaan dari eksekusi Uang Pengganti berdasarkan data BPK adalah sebesar Rp 12,7 triliun dan USD 290,4 juta,” katanya.

Ia mengatakan, eksekusi pidana uang pengganti dapat segera dilaksanakan setelah putusan inkracht, sehingga tidak ada alasan bagi kejaksaan tidak melaksanakannya. Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

 

 

Sumber : pikiran-rakyat.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *