Bantuan Hukum ala Sumbar Oleh : Roky Septiari Pengabdi Bantuan Hukum di LBH Padang

Regulasi daerah yang dilahirkan mesti menangkap kondisi kekhususan di daerah untuk disesuaikan dengan program nasional dari pemerintah (baca: Presiden). Konsep tersebut merujuk kepada prinsip otonomi daerah yang sejatinya bermaksud untuk menjaga eksistensi nilai-nilai dan budaya lokal masing-masing daerah. Pandangan di atas mesti diterapkan untuk menyambut program bantuan hukum yang secara nasional telah dijalankan. Berdasarkan PP No 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum, akses keadilan akan diberikan kepada masyarakat miskin baik secara personal maupun komunal. Dengan berbagai tata cara yang telah diatur, bantuan hukum diberikan guna menjangkau kebutuhan masyarakat atas akses keadilan yang selama ini minim perhatian elite.

 

Selain pendanaan dari APBN, APBD ma­sing-masing daerah juga dimanatkan unt­uk disalurkan melalui program ban­tuan hukum sesuai amanat Pasal 19 UU Bantuan Hukum. Oleh sebab itu, Pe­me­rin­tah Sumatera Barat juga telah meng­ga­gas kelahiran Peraturan Daerah ten­tang Bantuan Hukum di Sumbar. Ga­ga­san Perda Bantuan Hukum sebenarnya bu­kanlah terobosan perdana dari Sum­bar, mengingat Jawa Timur telah lebih dahulu mengeluarkan Perda No 9 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum. Namun, gagasan ini perlu diapresisasi publik Sumbar dengan perhatian dan segala masukan nantinya.

 

Perda Sumbar tentang Bantuan Hukum yang telah masuk ke dalam Prolegda 2014, jangan sampai hanya memuat konsep bantuan hukum nasional tanpa mengangkat persoalan lokal yang perlu pendekatan khusus. Perda Bantuan Hukum mesti menjadi instrumen untuk menyelesaikan persolan keadilan yang bersifat khusus di Sumbar. Persolan khusus yang dimaksud ialah perkara hukum yang melibatkan  masyarakat adat Minang, yang tak jarang membutuhkan bantuan hukum. Sengketa tanah adat yang terjadi secara horizontal antar masyarakat adat (anak kemanakan dan mamak) dan sengketa vertikal antara masyarakat adat dengan sektor privat (dunia usaha) mesti dijadikan ulasan yang me­latarbelakangi kelahiran Perda Ban­tuan Hukum nantinya.

 

Pendekatan khu­sus atas perkara hukum yang menjadikan ma­syarakat adat yang menderita ke­mis­ki­nan secara akses, akan menjadikan ma­syarakat adat sebagai subjek penerima ban­tuan hukum. Sebagai subjek pe­ne­ri­ma bantuan hu­kum, masyarakat adat akan men­da­patkan pelayanan secara litigasi dan nonlitigasi oleh organisasi bantuan hukum yang telah diakreditasi oleh BPHN.

 

Konsep di atas secara normatif ti­dak­lah bertentangan dengan UU Bantuan Hukum. Pasal 1 Angka (2) UU Bantuan Hukum jelas menerangkan bahwa pe­ne­rima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Secara gra­ma­tikal dapat ditafsirkan bahwa kelompok miskin tersebut melegitimasi masyarakat adat yang miskin akses untuk diberikan bantuan hukum. Miskin ekonomi bisa dikembangkan kepada miskin akses meski miskin ekonomi secara komunal juga dirasakan oleh masyarakat adat. Artinya, Perda Bantuan Hukum mesti menangkap problem lokal di Sumbar ini.

 

Keberadaan masyarakat hukum adat tidak dapat dinafikan dalam sejarah pendirian bangsa dan negara Indonesia. Pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat, yakni pada Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan ma­sya­ra­kat dan prinsip Negara Kesatuan Hukum Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pengertian tentang masyarakat hukum adat masih memunculkan beberapa perdebatan, belum ada pengertian yang baku tentang masyarakat hukum.

 

Dalam tataran hukum nasional, Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria telah menyatakan bahwa hak ulayat masih diakui. Selain itu, Peraturan Menteri Agraria (Permenag) No 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesasian Konflik Masalah Tanah Ulayat Ma­sya­ra­kat Hukum Adat, Pasal 2 Ayat (2) menjelaskan, kriteria untuk menentukan masih adanya hak ulayat dengan melihat eksistensi dari sekelompok orang yang ma­sih terikat oleh tatanan hukum adat­nya sebagai warga bersama suatu per­se­ku­tuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam ke­hi­du­pan­nya sehari-hari (masyarakat hukum adat), terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga per­sekutuan hukum tersebut dan tem­pat­nya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari. Selain itu, terdapatnya ta­tanan hukum adat mengenai pe­ngurusan, pe­nguasaan dan penggunaan tanah ula­yat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

 

Kemudian, UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga mengatur pe­nga­kuan atas keberadaan masyarakat hukum adat dalam Pasal 67 Ayat (1) menyatakan, masyarakat hukum adat diakui ke­be­ra­da­annya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeensch),ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, wilayah hukum adat yang jelas, pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati, dan masih mengadakan ehasil hutan di wilayah hutan.

 

Dengan demikian, telah jelas pe­nga­kuan negara terhadap masyarakat hukum adat. Selain itu, regulasi lokal yang telah ada seperti Perda No 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pe­man­fa­ta­an­nya telah melegitimasi kelembagaan adat dengan hak yang harus dilindungi.

 

Jika mekanisme permohonon ban­tuan hukum dari masyarakat miskin secara personal menggunakan bukti surat miskin dari lurah atau pejabat setempat, masyarakat adat mesti mendapat surat pengantar dari KAN setempat. Konsep masyarakat adat sebagai salah satu subjek penerima bantuan hukum bisa men­ja­di­kan Ranperda Sumbar tentang Bantuan Hu­kum menjadi hukum yang memang progresif memandang dan memang mencerminkan otonomi daerah itu berjalan. Semoga.

 

 

Sumber : padangekspress.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *