Pernyataan sikap LBH Banda Aceh di hari Hukum Agraria

LEMBAGA Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mengeluarkan pernyataan sikap di hari peringatan 53 Tahun Hukum Agraria, Rabu 25 September. Tanah memiliki makna  yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat dan negara. Selain sebagai tempat pemukiman, tanah juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat yang mencari nafkah melalui usaha pertanian, pertambangan dan perkebunan. Dalam kehidupan manusia tanah mempunyai nilai yang sangat tinggi, tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga menyangkut masalah nilai-nilai sosial dan politik. Sehingga, bagi bangsa Indonesia tanah mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religius, yang harus dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sebagai amanah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Direktur LBH Banda Aceh Mustiqal Syah Putra, S.H mengatakan penguasaan atas tanah di negeri ini selalu diwarnai oleh banyaknya kebijakan pertanahan yang kapitalistik. Kebijakan-kebijakan kapitalistik tersebut tidak dapat dipungkiri telah melahirkan ketidakadilan yang harusnya ditanggung oleh Negara, yang secara konstitusional memiliki kewajiban untuk mensejahterakan dan memberikan keadilan kepada seluruh warga Negara. Namun, kondisi objektif yang ada justru menunjukkan bahwa Negara malah menggunakan otoritas kekuasaannya untuk secara sengaja menjadikan sekelompok orang untuk dapat menguasai sumber daya agraria melebihi batas maksimal yang diperkenankan menurut undang-undang. Tindakan pemerintah yang tak berpihak pada warganya, –terutama rakyat miskin dan kaum rentan– sesungguhnya adalah bentuk yang paling nyata dari tindakan kekerasan dan penindasan oleh Negara terhadap rakyat.

Selain itu juga, berbagai kasus dan kondisi objektif menunjukkan bahwa arah kebijakan di bidang pertanahan dapat berimbas pada perlindungan dan pengakuan hak atas tanah masyarakat terutama kaum petani yang mengandalkan tanah sebagai basis modal utama dalam kehidupannya. Tak pelak lagi, bahwa kebijakan yang cenderung berkiblat pada kepentingan pemilik modal –termasuk negara sebagai objek– akan menimbulkan konflik yang akan berimbas pada ketidakpastian hak atas tanah.

Mustiqal menambahkan, Aceh saat ini sedang menatap masa depannya, harus diakui bahwa rakyat memiliki harapan besar dengan eskalasi perdamaian yang telah terbina dengan baik. Namun wajib kita sadari dan tidak menutup mata, jika konflik agraria tidak terselesaikan, maka wajah perdamaian akan tercoreng. Tidak hanya itu, kepastian hukum akan semakin absurd, dengan membiarkan konflik ini berlarut-larut hanya demi kepentingan sesaat dan segelintir kelompok.Yang harus dipahami dalam konteks ke-Aceh-an adalah penyelesaian konflik agraria adalah bukan hanya menyelesaikan perkara menurut ketentuan-ketentuan hukum positif, akan tetapi lebih dari itu; ialah suatu upaya perombakan struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya yang timpang; sebagai upaya dalam menyelesaikan upaya konflik dan sengketa agraria maupun konflik pengelolaan yang berpegang pada prinsip KEADILAN serta mengedepankan kepentingan masyarakat.lanjut.

Realitanya, Banyak kasus sengketa dan konflik agraria di Aceh yang sudah lama terjadi namun hingga hari ini belum menemukan titik terang dalam rangka penyelesaian dengan hasil yang bermartabat dan terhormat. Kasus antara masyarakat Aceh Timur dengan PT Bumi Flora terkait dengan izin HGU, kasus yang melibatkan PT. Ubertraco di Kabupaten Singkil, konflik tanah masyarakat Desa Sungai Iyu, kecamatan Bendahara dengan PT. Parasawita di Kabupaten Aceh Tamiang serta konflik agraria antara TNI dan Polri menunjukkan bahwa sampai dengan hari ini pemerintah tidak mampu mengambil peran maksimal untuk perlindungan kedaulatan rakyat atas tanah.

Oleh karena itu, seiring dengan peringatan hari agraria nasional kali ini, LBH Banda Aceh menyatakan sikap sebagai berikut :

  1. Melakukan perubahan, perombakan dan perbaikan sistem hukum agraria dan peraturan (Perda/Qanun) yang mengatur penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang meminggirkan kepentingan dan kepemilikan masyarakat atas sumber daya alam.
  2. Menetapkan prinsip-prinsip baru dalam pengelolaan sumber daya alam yang berpegang pada prinsip keadilan, keberlanjutan, dan menghargai hak-hak masyarakat lokal.
  3. Mengubah orientasi politik dan prilaku birokrasi yang berhubungan dengan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam lainnya.
  4. Mendesak Pemerintah Pusat untuk segera mengeluarkan produk hukum terkait dengan pembagian kewenangan pemberian dan pengelolaan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Bab XXIX Pasal 213 dan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;
  5. Mendesak Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Kab/Kota untuk segera mengupayakan penyelesaian berbagai kasus sengketa dan konflik agraria yang hingga saat ini belum terselesaikan dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan;

Banda Aceh, 24 September 2013

Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh

 

Sumber : atjehpost.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *