Vonis Anak 11 Tahun Dikecam

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)  mengecam keras vonis pengadilan yang telah memenjarakan anak yang belum berusia 12 tahun. Adalah DY, seorang anak yang masih berusia 11 tahun yang telah divonis dua bulan 6 hari oleh hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Pematang Siantar, Roziyanti pada 5 Juni lalu.

Vonis ini dinilai bertentangan dengan putusan MK yang telah mengubah batas usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara pidana semula minimal 8 tahun menjadi 12 tahun. “Vonis itu keliru, karena hakim masih menerapkan UU Pengadilan Anak sebelum diujimaterikan di MK yang mencantumkan batas usia anak yang bisa dipidana 8 tahun,” kata Ketua YLBHI Alvon Kurnia Palma di kantornya, Jumat (7/6).

Bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu dinilai terbukti melanggar Pasal 363 ayat (1) KUHP jo Pasal 4 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. DY dinyatakan bersalah lantaran mencuri sebuah handphone dan laptop pada Marert 2013. Atas vonis itu, DY dibebaskan karena masa tahanan yang telah dijalaninya sebelumnya sama dengan vonis tersebut.

Alvon mengecam sikap aparat penegak hukum (penyidik, jaksa, hakim) yang telah menbawa dan mengadili seorang anak yang belum berusia 12 tahun ke pengadilan. Sejak awal seharusnya kasus ini tidak perlu dibawa ke pengadilan. Dia menilai putusan itu batal demi hukum karena bertentangan dengan putusan MK.

Menurut Alvon sesuai Pasal 5 UU Pengadilan Anak, jika seorang anak yang berumur 12 tahun ke bawah yang melakukan tindak pidana, maka dikembalikan ke orang tua atau walinya untuk dibina. Jika tidak, penyidik menyerahkan kepada Kementerian Sosial setelah mendengar pertimbangan pembimbing kemasyarakatan.

“Karena umurnya belum cukup dipidana, seharusnya anak itu ‘dilepas’ untuk dikembalikan kepada keluarganya atau diserahkan Kemensos atau Balai Pemasyarakatan,” kata Alvon.

Persoalan lainnya, ungkap Alvon, selama proses penahanan DY diperlakukan sama dengan orang dewasa. “Anak sebagai kelompok rentan harusnya diperlakukan khusus karena sistem dan pelaksanaan peradilannya berbeda dengan orang dewasa. Misalnya, sidang pengadilan hakim tidak memakai toga, prosesnya ngobrol seperti diskusi, lalu diputus.”

Karena itu, pihaknya akan mengajukan upaya hukum banding dan mendesak MA untuk membatalkan vonis itu sekaligus memberi sanksi kepada hakim yang bersangkutan. “Kita belum melihat pelanggaran perilaku hakimnya, makanya kita belum berniat lapor ke KY. Tetapi, kita akan banding setelah kita komunikasikan dengan DY,” tegasnya.

Sektretaris KPAI Muhammad Ichsan mengaku merasa kecolongan atas kasus ini. Dia tegaskan, sejak awal seharusnya polisi setempat tidak boleh meneruskan kasus ini karena pelakunya masih berusia 11 tahun. “Sanksi harusnya dikembalikan ke orang tuanya atau dibina di Kemensos. Ini kecolongan pertama,” kata Ichsan.

Dia pun menuding hakim yang mengadili perkara ini tak paham aturan perlindungan anak yang mengakibatkan DY diputus 2 bulan 6 hari. Tak hanya hakim, polisi dan jaksa juga tidak paham aturan perlindungan anak.

“Kasus ini akan kita konfirmasi ke Kepolisian, Kejaksaan, MA agar diperiksa semua prosesnya. Kalau ditemukan ada indikasi kelalaian pada anggotanya, harus diberikan sanksi,” harapnya.

Ditambahkan Ichsan, dengan kasus ini DY mengalami kerugian materil dan immateril seperti pernah ditahan selama 2 bulan dan 6 hari dalam penjara, sehingga dia berhak atas ganti kerugian dan rehabilitasi oleh pengadilan. ”Apakah bentuknya uang, nanti terserah hakimnya yang cocok untuk merehabilitasi anak itu,” katanya.

Terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur meminta agar DY melalui kuasanya yang berwenang untuk mengajukan upaya hukum banding atas putusan itu. “Untuk mengujinya harus lewat upaya hukum, segera nyatakan banding,” saran Ridwan.

Senada, Wakil Ketua KY Imam Anshori Saleh mengatakan saluran hukum yang bisa dilakukan untuk membatalkan putusan itu hanya lewat upaya hukum banding atau kasasi. Meski begitu, KY siap menelusuri ada-tidaknya indikasi pelanggaran kode etik dan perilaku hakimnya. “Kalau ada indikasi kuat melanggar itu, tentunya akan kita panggil hakimnya,” kata Imam.

Sumber: Hukumonline.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *