Reformasi Sektor Keamanan

Agenda reformasi di sektor keamanan (Security Sector Reform/SSR) yang telah dicanangkan sejak tahun 2001 menegaskan perlunya redefinisi hubungan antara sipil dan militer di Indonesia. Reformasi di sektor keamanan ini diharapkan dapat menciptakan tentara dan polisi yang profesional serta gagasan mengenai keamanan (security) yang tidak melulu merujuk pada keamanan negara (state security) namun juga mencakup keamanan manusia dan masyarakat (human and social security).

SSR lahir sebagai sebuah respon terhadap struktur masyarakat yang memiliki aparat keamanan (security forces) yang sangat otonom dan tidak transparan. Akibat dari kondisi semacam itu antara lain adalah: banyak sumber daya yang disalahgunakan, konflik-konflik yang terjadi dikelola dengan cara-cara represif, sehingga politik juga dijalankan dengan cara-cara kekerasan dan unjuk kekuatan. SSR muncul sebagai sebuah jalan keluar sebagai bagian dari agenda pembentukan tata pemerintahan yang baik (good governance), serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Sektor kemanan di sini merujuk pada organisasi dan entitas yang memiliki wewenang, kapasitas dan/atau kekuasaan untuk Laporan YLBHI No.10, November 2005 2 menggunakan kekerasan fisik maupun ancaman kekerasan fisik untuk melindungi negara dan warga negara. Termasuk di dalamnya adalah institusi-institusi sipil yang mengelola organisasi-organisasi di atas.

Jadi, paling tidak ada tiga komponen yang terkait dengan sektor kemanan, yaitu institusi-institusi yang memiliki otoritas dan
instrumen untuk menggunakan kekerasan (militer, polisi, paramiliter, intelijen, dll), institusi-institusi yang memonitor dan mengelola sektor keamanan (menteri / departemen, legislatif, masyarakat sipil, dll) serta lembaga-lembaga penegakan hukum (lembaga peradilan, Komnas HAM, dll).

Untuk melaksanakan SSR tersebut ada beberapa hal yang harus dilaksanakan, antara lain:

  • Memperkuat institusi-institusi sipil, baik dalam pemerintahan maupun di tingkat organisasi masyarakat sipil
  • Mengimplementasikan manajemen sipil dalam pertahanan dan keamanan, karena tanpa institusi dan kepemimpinan sipil yang kuat dan efektif, SSR tidak akan berhasil.
  • Mendorong terciptanya aparat keamanan (security forces) yang profesional
  • Mendorong transparansi dalam perencanaan, manajemen serta penyusunan/pengalokasian anggaran sektor keamanan.
  • Memperkuat dan membuka ruang kontrol dari masyarakat sipil terhadap sektor keamanan.

Dalam konteks relasi antara sipil dan militer, penguatan masyarakat sipil serta profesionalitas militer merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Apalagi mengingat bahwa secara konseptual SSR memiliki 4 dimensi, yaitu: dimensi politik, dimensi institusional, dimensi ekonomi dan dimensi Kemasyarakatan (societal). Keempat dimensi tersebut menekankan supremasi sipil atas militer, sehingga secara politik, institusi, ekonomi maupun sosial, militer harus secara tegas
berada di bawah kontrol sipil.

Silahkan unduh Laporan YLBHI No. 10, November 2005 (PDF, Bahasa Indonesia)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *