Pekerja HAM dan Kemanusiaan Dalam Keadaan Darurat Militer di Aceh

Pemberlakuan status darurat militer di Aceh pada tanggal 19 Mei 2003 membawa dampak yang serius terhadap aktivitas para pekerja kemanusiaan dan pekerja HAM (human rights defender) baik di Aceh maupun di luar Aceh, terutama Jakarta. Berbagai bentuk teror, ancaman, intimidasi dan terutama stigmatisasi, labelisasi serta kriminalisasi tertuju kepada para – dan terutama – para pekerja HAM terhadap sikap dan aktivitas-aktivitas dan pekerjaan untuk advokasi, perlindungan dan kampanye hak asasi manusia.

Briefing paper ini mencoba untuk melihat secara umum gambaran kondisi pekerja hak asasi manusia baik di Aceh dan di luar Aceh sehubungan dengan kebijakan politik pemerintah RI memberlakukan status darurat militer, juga menganalisa pola-pola yang dilakukan pemerintah RI dalam melakukan tekanan terhadap kerja-kerja advokasi, perlindungan dan kampanye hak asasi manusia di Aceh.

Setelah mengeluarkan Keppres No.28/ 2003 tentang Pemberlakuan Status Darurat Militer di Propinsi NAD dan disusul dengan Keppres No.43/2003 tentang Pengaturan Kegiatan Warga Negara Asing, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Jurnalis di Propinsi NAD, memungkinkan dilakukannya kontrol dan pembatasan terhadap kerja-kerja kemanusiaan (humanitarian works), bantuan kemanusiaan (humanitarian aid), dan advokasi hak asasi manusia (human rights advocacy) baik lembaga institusi di wilayah regional, nasional dan internasional. Tujuan umum dari Keppres No.43 ini adalah untuk melakukan kontrol terhadap berbagai aktivitas kerja-kerja kemanusiaan dan bantuan kemanusiaan dan juga kerja-kerja jurnalisme harus mendapat izin dari sejumlah departemen dan kementrian, seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Kehakiman dan HAM, Kementrian Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementrian Bidang Polkam dan juga Penguasa Darurat Militer Pusat dan Daerah. Semua ijin peliputan dan distribusi bantuan keamanan sepenuhnya diatur oleh Jakarta.

Secara umum briefing paper ini akan dibagi ke dalam empat bagian pemba-hasan. Pertama, melihat konstruksi stigmatisasi dan labelisasi terhadap para pekerja HAM dalam melakukan advokasi terhadap berbagai pelanggaran HAM di Aceh secara khusus, maupun terhadap kebijakan operasi militer dan pemberlaku-an keadaan darurat militer secara umum. Kedua, melihat dan mendeskripsikan ancaman-ancaman, hambatan terhadap para pekerja HAM selama pemberlakuan keadaan darurat militer. Ketiga, mengana-lisa bagaimana kemampuan para perkerja HAM bekerja dan aturan-aturan yang melindunginya dalam situasi darurat mili-ter. Dan terakhir, merupakan kesimpulan dan analisa menyeluruh dari keseluruhan pemaparan pada tiga bagian sebelumnya.

Silahkan unduh Laporan YLBHI No.6, September 2003 (PDF, Bahasa Indonesia)

Download YLBHI Report #6, September 2003 (PDF, English)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *